Kamis, 31 Desember 2009

TAHUN 1431 HIJRIYAH

Menjelang dan/atau pada tanggal 1 Muharram 1431 Hijriah, umat Islam menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam aneka bentuk. Mulai dari zikir, seminar dan diskusi, tablig akbar hingga kegiatan khusus bagi anak-anak dan remaja berupa lomba penguasaan ilmu pengetahuan keagamaan. Kegiatan itu, selain ibadah adalah pula makin meningkatkan kesadaran umat dalam penyelenggaraan ibadah, sekaligus mempertajam tekad tentang perlunya eksistensi keagamaan ditegakkan dan dipertahankan secara terus menerus, dari generasi ke generasi. Tujuan pelaksanaan kegiatan itu, tidak sekedar sebagai seremonial menyambut tahun baru 1431 Hijriah. Tetapi lebih dari itu, terdapat sejumlah manfaat positif dalam memperkuat keimanan tiap insan muslim dan memelihara kesucian agama Islam dari waktu ke waktu.

Berganti tahun. Di situ terkandung keharusan untuk melakukan introspeksi dan evaluasi. Terutama terhadap diri masing-masing.Hal ini penting, untuk mengetahui, antara lain tentang tingkat atau kadar keimanan yang sudah menebal di dalam diri, seraya mempertanyakan seberapa jauh diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Kalau kita mampu melakukan evaluasi, akan diketahui apa yang sudah dicapai selama tahun 1430 Hijriah untuk kemudian ditingkatkan pada tahun 1431 Hijriah. Kalau ada yang belum tercapai maksimal, dapat ditingkatkan pada tahun berikutnya. Begitu sebaliknya, kalau ada langkah yang keliru, supaya jangan terulang. Makna dari melakukan introspeksi dan evaluasi, bukan saja menjadi renungan dan catatan. Melainkan sebagai butir-butir untuk dipateri sebagai tekad untuk dikerjakan dalam tahun 1431 Hijriah. Kemampuan merealisir tekad itu sesungguhnya terpulang kemauan tiap orang yang menginginkan perobahan yang lebih baik dalam beribadah, dengan sasaran menjadikan dirinya sebagai insan yang lebih takwa.

Dari sisi lain, peningkatan ukhuwah islamiyah merupakan hal penting dalam upaya memperkuat persatuan dan kesatuan sebagai umat Islam di lingkungan tempat tinggal, maupun dalam skala lebih luas seperti daerah, regional, nasional dan internasionl. Itu wajar. Agama Islam menyebar di berbagai penjuru dunia. Peningkatan persatuan dan kesatuan ini diperlukan untuk berbagai manfaat positif. Aktivitas yang dilakukan tetap dalam koridor keagamaan yang selalu menggariskan kedamaian, saling menghormati, menyayangi, saling membantu atau gotong royong dan sebagainya. Melalui kekuatan persatuan dan kesatuan itu secara mendunia, kita tunjukkan kehidupan beragama yang baik. Hal semacam ini, siapapun tak perlu berprasangka negatif pada umat Islam. Toleransi yang diberikan umat Islam dalam penyelenggaraan kegiatan ibadah agama masing-masing, adalah cerminan dari ajaran yang senantiasa dalam kedamaian.

Memasuki tahun 1431 Hijriah, mari melangkah untuk berbuat sesuatu yang lebih baik. Terutama melakukan ibadah sebagai insan yang bertakwa. Di lain segi, ikut membangun negara untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Kalau ada masalah yang dihadapi umat Islam dalam skala kecil atau internasional, tetap harus dihadapi secara bersama, agar masalahnya tuntas. Termasuk musibah sebagai cobaan dalam kehidupan, meski dari sisi lain ada bencana alam akibat ulah tangan manusia seumpama penebangan liar. Mari kita tetap berfikir positif dalam menjalani kehidupan ini, melakukan hubungan dengan Maha Pencipta melalui ibadah yang ditentukan seraya menjalin kontak antar manusia. Kita masuki tahun 1431 Hijriah dalam sikap optimis dan berupaya menjadikan diri sebagai insan yang takwa setiap waktu. Semoga dalam tahun 1431 Hijriah ini, Allah SWT memberi rahmat yang terbaik.

MEMAHAMI MAKNA TAHUN BARU HIJRIYAH

Sang waktu terus berjalan dan berubah dan tidak ada sesuatu yang tidak berubah kecuali perubahan itu sendiri. Perubahan itu terjadi dengan sendirinya karena dimakan usia seperti umur suatu benda yang lama kelamaan terus berubah tanpa harus ada campur tangan manusia. Namun perubahan perilaku manusia memerlukan ikhtiar yang diawali niat, termasuk memaknai pergantian tahun baru Islam 1 Muharram 1431 Hijriyah.

Tak terasa kita telah memasuki tahun baru 1431 Hijriah, tepatnya saat ini kita sudah berada di bulan Muharram. Adapun kata muharram berasal dari kata “harrama” yang mengalami perubahan bentuk menjadi “yuharrimu-tahriiman-muharraman-muharrimun“. Bentukan “muharraman” berarti yang diharamkan. Apa yang diharamkan ? Perang atau pertumpahan darah! Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an Surat At Taubah ayat 36 :
“Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah sebagaimana disebut di Kitabullah ada 12 bulan sejak Allah menciptakan langit dan bumi, dan terdapat 4 bulan di dalamnya merupakan bulan yang diharamkan”.

Membicarakan bulan Muharram pasti tidak akan lepas dari peristiwa Hijrah-nya Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah, yakni pada tahun 622 M. Hijrah itu sekaligus menjadi tonggak awal dimulainya kalender Islam. Ini artinya hijrah Rasulullah SAW beserta para sahabatnya ke Madinah telah berumur 1431 tahun. Sebuah peristiwa bersejarah yang patut dikenang dan bisa menjadi proses transformasi spiritual. Di dalamnya terkandung makna dan keteladanan untuk sebuah pengorbanan sejati yang mengapresiasikan perlawanan akan kebathilan sekaligus sikap konsisten mengedepankan kepentingan misi dari kepentingan apa pun, agar ia tetap lestari dan terjaga dari kepunahan meski karenanya harus berdarah-darah mereka harus meninggalkan negeri, harta, sanak dan handai taulan tercinta.

Secara harfiah hijrah artinya berpindah. Secara istilah ia mengandung dua makna yaitu, hijrah makani dan hijrah maknawi . Hijrah makani artinya hijrah secara fisik berpindah dari suatu tempat yang kurang baik menuju yang lebih baik dari negeri kafir menuju negeri Islam. Adapun hijrah maknawi artinya berpindah dari nilai yang kurang baik menuju nilai yang lebih baik, dari kebathilan menuju kebenaran, dari kekufuran menuju keislaman. Makna terakhir oleh Ibnu Qayyim bahkan dinyatakan sebagai al-hijrah al-haqiqiyyah. Alasannya hijrah fisik adalah refleksi dari hijrah maknawi itu sendiri. Dua makna hijrah tersebut sekaligus terangkum dalam hijrah Rasulullah SAW dan para sahabatnya ke Madinah. Secara makani jelas mereka berjalan dari Mekah ke Madinah menempuh padang pasir sejauh kurang lbh 450 km. Secara maknawi jelas mereka hijrah demi terjaganya misi Islam.

Al-Qahthani menyatakan bahwa hijrah sebagai urusan yang besar. Hijrah berhubungan erat dengan al-wala’ wal-bara’, bal hiya min ahammi takaalifahaa, bahkan ia termasuk manifestasi yang paling penting. Penting karena menyangkut ketepatan sikap seorang muslim dalam memberikan perwalian kesetiaan dan pembelaan. Juga menyangkut ketepatan seorang muslim dalam menampakkan penolakan dan permusuhan kepada yang patut dimusuhi. Dalam sejarah para rasul juga dekat dengan tradisi hijrah dan semua atas semangat penegasan batas sebuah loyalitas kesetiaan keimanan yang berujung menuju kepada yang lebih baik atas ridha Allah SWT. Sebut misalnya Nabi Ibrahim Khalilullah beliau telah melakukan hijrah beberapa kali dari Babilon ke Palestina dari Palestina ke Mesir dari Mesir ke Palestina lagi, semua demi risalah suci.

Ibrah dari dari peristiwa hijrah adalah sebuah pengorbanan. Setelah para sahabat keluar dari ujian berupa siksaan dan cercaan dari Kafir Quraisy di Mekah tidak otomatis menjadikan mereka bebas dari ujian berikutnya. Yang paling gamblang adalah cobaan meninggalkan kemapanan. Tengoklah bagaimana sahabat meninggalkan keluarga tercinta rumah pekerjaan tanah air dan sanak kadang dan handai taulan.

Secara lahiriyah umumnya naluri manusia akan menyatakan ujian itu sungguh berat. Meninggalkan nilai material yang barangkali selama ini mereka rintis dan perjuangkan. Berpindah ke suatu tempat asing yang penuh spekulasi. Toh kecintaan para sahabat akan Islam mengalahkan kecintaan pada semua itu. Kesucian akidah di atas segalanya. Hal ini sekaligus menegaskan betapa maslahat “din” menempati pertimbangan tertinggi dari maslahat-maslahat yang lain. Pelajaran lain hijrah menegaskan adanya perseteruan abadi antara kebatilan versus kebenaran.

Allah SWT berfirman dalam Surat Al Baqarah ayat 147 yang artinya : “Kebenaran itu datang dari Rabb-mu maka jangan sekali-kali engkau termasuk orang yang ragu-ragu”. Untuk menangkap spirit hijrah lebih jauh rumusan sederhana Ibnu Qayyim cukup menarik katanya dalam kata hijrah terkandung arti berpindah “dari” dan berpindah “menuju”. Maksudnya berpindah dari yang semula tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya menuju kepada yang sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.

Jika rumusan global tersebut betul-betul dihayati tiap muslim untnk selanjutnya secara konsisten diterapkan dalam sendi-sendi kehidupan barangkali nasib umat ini secara umum akan lebih baik dari sekarang, karena dalam dirinya terdapat potensi raksasa/kekuatan yang luar biasa, yang apabila digali dan dimanaje dengan sungguh-sungguh akan mengantarkan kepada kehidupan kita yang jauh lebih baik, lurus, dan cerah. Ketidak sadaran akan potensi dirinya akan berdampak kepada pengkerdilan potensi itu sendiri. Sehingga manusia (kita) sering tidak berdaya dalam menghadap persoalan hidup.

Bentuk ketidaksadaran akan potensi diri ini bisa bersifat individu atau kolektif. Dalam tataran individu hal itu akan membuat individu yang bersangkutan mengalami kelumpuhan berfikir, kelumpuhan nurani dan kelumpuhan beraksi yang akhirnya bisa menimbulkan sifat “malas”. Selanjutnya akan dapat menimbulkan pola pikir yang “seandainya, jikalau , umpama” (seandanya saya jadi orang kaya, jikalau saya seorang pejabat dll). Sedangkan dalam skala kolektif akan menimbulkan kelumpuhan satu bangsa, satu generasi atau satu ummat, sehingga akan melahirkan generasi yang mandul, ummat yang rapuh dan bangsa yang stagnan. Padahal Allah sudah memberikan peringatan dalam Al-Qur’an (QS. Ali Imran:139) :
“Dan janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi jika kamu orang-orang yang beriman”.

Dalam menafsirkan ayat di atas Sayyid Quthb berkata : Janganlah kamu bersikap lemah dan janganlah kamu bersedih hati atas apa yang menimpamu; dan jangan pula kamu bersedih hati atas apa yang lepas dari tanganmu, padahal kamu adalah orang-orang yang tinggi. Akidah kalian lebih tinggi karena kalian bersujud pada Allah semata sedangkan mereka menyembah pada salah satu makhlukNya atau sebagian dari makhluknya. Manhaj hidup kalian lebih tinggi sebab kalian berjalan di atas manhaj Allah sedangkan mereka berjalan di atas manhaj ciptaan makhlukNya. Peran kalian lebih tinggi sebab kalian mendapat tugas untuk memberi petunjuk kepada manusia secara keseluruhan yang sedang berjalan tanpa manhaj atau menyimpang dari manhaj yang lurus. Posisi kalian di muka bumi lebih tinggi sebab kalian adalah pewaris bumi yang Allah janjikan pada kalian, sedangkan mereka menuju pada kebinasaan dan dilupakan. Maka jika kalian benar-benar beriman pasti kalian akan lebih tinggi, dan janganlah kalian bersikap lemah serta bermuramdurja (Tafsir Fi Zhilal al Quran,I/480).

Sementara itu menurut Imam Asy Syaukani teks ayat di atas dari segi makna saling berkaitan. Artinya jika kamu beriman maka janganlah kamu bersedih, atau jika kamu beriman maka kamulah orang yang paling tinggi (Fath al Qadir,I/384).

Hal serupa bisa kita dapatkan dalam teks ayat yang lain, yaitu QS. Ali Imran : 146 :
“Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah SWT, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.

Begitu pula dengan FirmanNya QS.Muhammad : 35 :
“Maka janganlah kamu lemah dan minta damai padahal kamulah yang di atas dan Allah (pun) beserta kamu dan Dia sekali-kali tidak akan mengurangi (pahala) amal-amalmu”.

Sering kita tidak menyadari bahwa kita memiliki potensi untuk mengatur menjadi “imam” umat lain, menjadi imam peradaban dan budaya. Sesungguhnya Allah membuka kesempatan bagi kita untuk menjadi ummat terbaik di mata dunia. Kita sering lupa bahwa Allah memberi kita potensi untuk menjadi umat pilihan, ummat penengah yang mampu memberikan rahmat dan kesejukan pada sesama, mampu menebarkan keadilan, melindungi hak-hak manusia dan menghargai martabat mereka. Sebagaimana Firman Nya dalam QS.Ali Imran:110 :
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah SWT”.

Juga dalam QS.Al Baqarah:143 :
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi (perbuatan) manusia”.

Dari ayat-ayat di atas dapat kita pahami sesungguhnya Allah SWT telah mendesain kita (umat Islam) sebagai umat pilihan, umat yang dapat mendatangkan kesejukan, memberikan rasa nyaman, memberikan keadilan dan menghargai martabat manusia. Namun terkadang akibat keserakahan, ketamakan, iri dengki, hasud dsb kita jauh keluar jalur dari desain Allah. Sehingga akibatnya tidak hanya merugikan si pelaku tapi juga mengakibatkan kerugian kepada yang lain. Juga karena perbuatan manusia yang di luar desain Allah mengakibatkan Agama Islam yang begitu tinggi dan mulia menjadi ternoda, efeknya akan dimanfaatkan oleh orang-orang yang tidak senang dengan Islam (musuh Islam) dengan menciptakan opini publik, pelabelan-pelabelan bahwa Islam itu radikal, militan, identik dengan teroris dsb. Padahal sesungguhnya Islam itu adalah agama pembawa kedamaian bahkan sebagai rahmatan lil’alamiin.

Kesimpulan : Orang-orang beriman bisa melejitkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya secara maksimal dalam bingkai keimanan dan ketaqwaan jika mampu menyuruh manusia untuk berbuat baik, menebarkan kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang mungkar yang merugikan manusia lainnya. Kita akan dianggap kelompok orang yang beriman jika dalam setiap gerak kita aksi kita selalu bertaburan kebaikan dan sepi dari kemungkaran. Kesadaran untuk menjadi mukmin secara hakiki akan mengantarkan kita kepada pola pikir dan aksi yang positif, mendorong kita untuk melakukan kerja besar dan menghindarkan kita dari perbuatan/pekerjaan yang sia-sia. Kesadaran bahwa kita mendapat asuransi bersyarat dari Allah sebagai umat terbaik, umat pilihan, dan saksi bagi segenap manusia akan memacu, mendorong serta menggerakkan kita untuk melakukan agenda strategis untuk mengangkat derajat umat islam yang sedang dirugikan oleh cara berpikir dan berperilaku yang keliru.

Oleh karena itu kita harus mulai dari diri kita (ibda’ binafsik) selanjutnya kesadaran individu harus bermetamorfosis menjadi kasadaran kolektif, menjadi kesadaran umat, sehingga kita mampu menempatkan diri pada tempat yang seharusnya. Kita harus menjadi umat yang mulia dan bukan menjadi hina. Kita harus menjadi umat yang memimpin dan bukan yang dipimpin. Kita harus menjadi Khairul Ummah (ummat yang terbaik) dalam bingkai keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT. Umat Islam Indonesia harus memahami makna hijrah secara makro. Hijrah bukan hanya pindah dari suatu tempat ke tempat lainnya. Tapi makna hijrah secara luas adalah perubahan, termasuk perubahan pola pikir dalam menempuh perjalanan hidup di dunia ini. Wallahu a’lam. Bishowab.

SELAMAT TAHUN BARU ISLAM 1 MUHARRAM 1431 HIJRIYAH

Tahun Baru Islam 1 Muharram 1430 Hijriyah kali ini diapit dua hari besar internasional, yakni Hari Natal 2008 dan Tahun Baru 2009 Masehi. Tentu saja ini merupakan fenomena alam yang lumrah, mengingat perhitungan tarikh Hijriyah dengan tarikh Masehi, memiliki selisih sebelas hari setiap tahunnya. Ini lantaran masing-masing tarikh, menggunakan patokan yang berbeda. Tahun Masehi dihitung berdasarkan peredaran matahari (solar system) sedangkan tahun Hijriyah diukur bedasarkan peredaran bulan (lunar system).
Peredaran matahari dan bulan yang tidak berbarengan, menyebabkan jumlah hari dalam tahun Masehi dan Hijriyah, memiliki perbedaan. Tahun Masehi berjumlah 365 hari, tahun Hijriyah 354 hari. Itu pula sebabnya, pada kurun-kurun tertentu, tahun baru Hijriyah akan berdekatan dengan tahun baru Masehi. Bahkan pada tahun 2008 yang akan segera kita lewati ini, kita mengalami dua kali tahun baru Hijriyah. Sebelumnya tanggal 10 Januari lalu, dan kini 29 Desember.

Sekali lagi, ini adalah fenomena alam yang lumrah. Tetapi di balik fenomena alam yang lazim ini, kita bisa menyibak hikmah. Diapitnya Tahun Baru Hijriyah, oleh Hari Natal dan Tahun Baru Masehi, semakin mengingatkan kita bahwa kehidupan di atas semesta, tidak bisa dilepaskan dari kemajemukan alias keberagaman. Seperti majemuknya unsur-unsur alam yang kita tempati ini. Ada matahari, bulan, bintang, awan, angin, hujan, laut, daratan, pepohonan, rerumputan, hewan dan manusia, yang masing-masing memiliki ciri khas berbeda. Namun kerjasama atau kebersamaan semua unsur alam ini, akan membuat alam ciptaan Tuhan berada dalam keseimbangan alias harmoni. Jika satu saja unsur alam tersebut berjalan sendiri dan tidak mau berbagi, maka semesta ini akan dilanda disharmoni.

Celakanya, manusialah yang terkadang tidak mau berbagi dengan sesama manusia lainnya. Seakan lupa bahwa manusia itu terdiri atas berbagai ragam, baik secara fisik maupun pikiran. Secara fisik, muncul rasisme. Dari segi pikiran, muncul orang-orang yang menganggap pendapat dan keyakinannyalah yang paling benar. Pendapat dan keyakinan yang berbeda dianggap sesat dan perlu diberantas. Fenomena seperti ini sangat menggejala di tahun 1429 Hijriyah yang sudah kita lewatkan atau tahun 2008 Masehi yang akan segera kita tinggalkan.

Padahal, jika kita simak kembali perjalanan Hijrah Rasulullah Muhammad SAW, yang menjadi "titimangsa" diletakkannya penghitungan tarikh Hijriyah oleh Khalifah Umar ibnu Khattab, kita bisa menemukan banyak sekali keteladanan Rasulullah dalam menghargai dan menghormati keberagaman. Di Madinah, tempat Sang Nabi dan para pengikutnya berhijrah, Nabi mengakui keberadaan semua unsur masyarakat yang telah lama hidup di kota yang sebelumnya bernama Yastrib itu. Ada kelompok suku Aus dan Khajraj. Ada kaum Yahudi. Ada umat Nasrani. Belum lagi para pendatang dari Makkah yang disebut Muhajirin (orang-orang yang berhijrah) dan penduduk asli yang masuk Islam atau kaum Anshar (para penolong orang-orang yang berhijrah).

Kesemua unsur masyarakat Madinah tersebut, memperoleh hak yang sama. Nabi memerintahkan agar semua kelompok saling menghargai dan menghormati asal-usul serta keyakinan masing-masing. Ada salah satu peristiwa, yang mungkin bisa dijadikan contoh bagaimana Rasulullah sangat menghormati kemajemukan itu. Pada suatu hari lewatlah serombongan pengantar jenazah di hadapan beliau, yang ketika itu tengah duduk berbincang dengan beberapa sahabatnya. Jenazah dan para pengantarnya itu adalah orang-orang Yahudi. Seketika Sang Nabi berdiri dengan takzim, menghormati jenazah yang lewat.

"Mengapa Anda melakukan itu Ya Rasul. Bukankah itu jenazah orang Yahudi? Haruskah Anda menghormatinya?" tanya salah seorang sahabat. "Dia adalah manusia juga, seperti kita, yang berpulang ke Rahmatullah. Kita pun akan kembali padaNya," ujar Rasulullah. Serempak para sahabat itu pun berdiri, mengikuti Sang Nabi, menghormati jenazah orang Yahudi.

Pun, jangan lupa. Sebelum berhijrah ke Madinah, para pengikut Rasulullah pernah pula berhijrah dalam dua gelombang ke sebuah negeri bernama Abessinia (Ethiopia). Penguasa negeri itu, Kaisar Najasyi (Negus) adalah seorang penganut Kristen. Begitu pula sebagian besar rakyatnya. Orang-orang Muslim yang berhijrah ke Abessinia mendapat perlindungan keamanan dari Sang Kaisar, sehingga terbebas dari orang-orang Quraisy yang berniat membunuh mereka.

Rasulullah sangat berterima kasih kepada Sang Kaisar, yang telah memberikan tempat terhormat dan melindungi para penganut ajaran Islam. Sehingga bertahun-tahun setelah peristiwa tersebut, ketika Nabi Muhammad SAW mendengar kabar duka bahwa Kaisar Negus telah mangkat, beliau menangis. Lalu mendo’akan arwah Sang Kaisar, agar diterima di sisiNya.

Tarikh Hijriyah, kini telah mencapai bilangan 1430 tahun. Ini berarti sudah hampir 15 abad, secara turun temurun, umat Islam di seluruh dunia memperingati peristiwa Hijrah Rasulullah. Peristiwa yang mengandung banyak hikmah, terutama yang berhubungan dengan interaksi antar-manusia (hablumminannas). Dan, tahun ini, secara kebetulan tanggal 1 Muharram 1430 Hijriyah, berada sangat berdekatan dengan Hari Natal dan Tahun Baru 2009 Masehi. Tidakkah ini mengingatkan kita akan kemajemukan kita yang merupakan fitrah atau sunnatullah? Tidakkah kita ingat akan keteladanan Rasululah dalam menghargai keberagaman dan perbedaan? Bahkan Sang Kekasih Allah itu selalu menganggap perbedaan sebagai hikmah.

Selamat Tahun Baru 1 Muharram 1430 Hijriyah. Mari kita berhijrah meninggalkan ketertutupan (eksklusivisme) menuju keterbukaan (inklusivisme). Meninggalkan kesempitan pikiran menuju keluasan pandangan. Sehingga kita pun tidak selalu merasa diri paling benar, karena kebenaran ada di mana-mana.

PERAYAAN TAHUN BARU BERBAGAI BANGSA DAN UMAT DI DUNIA

Perayaan Tahun baru adalah suatu budaya merayakan berakhirnya masa satu tahun dan menandai dimulainya hitungan tahun selanjutnya. Bangsa-bangsa atau umat yang mempunyai kalender tahunan biasanya mempunyai perayaan tahun baru. Tapi apakah semua umat merayakan tahun barunya? Nah, untuk menjawab pertanyaan itu, kami berusaha menelusuri kembali sejarah perayaan tahun baru berbagai bangsa dan umat di dunia serta hukum merayakannya bagi kaum muslimin.

Perayaan Tahun Baru Umat Yahudi

Agama dan Umat Yahudi merayakan Tahun Baru mereka tidak pada hari ke-1 bulan ke-1 Kalender Ibrani (bulan Nisan), tetapi pada hari ke-1 bulan ke-7 Kalendar Ibrani (bulan Tishrei). Umat Yahudi menyebut Perayaan Tahun Baru mereka dengan nama Rosh Hashanah, yang berarti “Kepala Tahun”.

Rosh Hashanah ini digunakan umat Yahudi untuk memperingati penciptaan dunia seperti yang ditulis dalam kitab mereka. Mereka merayakannya dengan cara berdoa di sinagog, mendengar bunyi shofar (tanduk). Menyediakan makanan pesta berupa roti challah yang bundar dan apel yang dicelupkan ke dalam madu, juga kepala ikan dan buah delima. Buah-buahan baru disajikan pada malam kedua. Pada Perayaan Tahun Baru ini mereka beristirahat dari aktivitas kerja.

Jika memakai kalender Gregorian (Kalender Masehi), Tahun Baru Yahudi ini dirayakan pada bulan September. Misalnya tahun 2008 M Rosh Hashanah jatuh pada 29 September 2008. Tanggal itu ekivalen dengan tanggal 1 Tishrei 5769 AM (Anno Mundi). Anno Mundi adalah bahasa latin yang artinya “dalam hitungan tahun dunia”, disingkat A.M. karena orang Yahudi menganggap kalender mereka dimulai dari tanggal kelahiran Adam. Menurut perhitungan Kalender Ibrani, tanggal 1 bulan Tishrei tahun ke-1 AM adalah ekivalen dengan hari Senin, tanggal 7 Oktober tahun 3761 BCE dalam Kalender Julian (Kalender Romawi Kuno).

Ketika Panglima Pompey dari Kekaisaran Romawi Kuno menguasai Yerusalem pada tahun 63 SM, orang-orang Yahudi mulai mengikuti Kalender Julian (Kalender Bangsa Romawi yang menjajahnya). Dan setelah berdiri negara Israel pada tahun 1948 M, mulai tahun 1950an M Kalender Ibrani menurun penggunaannya dalam kehidupan bangsa Yahudi sekuler. Mereka lebih menyukai Kalender Gregorian untuk kehidupan pribadi dan kehidupan publik mereka. Dan sejak tahun 1980an, bangsa Yahudi sekuler justru mengadopsi kebiasaan Perayaan Tahun Baru Gregorian (Tahun Baru Masehi) yang biasanya dikenal dengan sebutan ”Sylvester Night” dengan berpesta pada malam 31 Desember hingga 1 Januari.

PERAYAAN TAHUN BARU BANGSA Cina

Bangsa Cina merayakan tahun baru mereka pada malam bulan baru pada musim dingin (antara akhir Januari hingga awal Februari) atau jika memakai kalender Gregorian tahun baru ini terletak antara 21 Januari hingga 20 Februari. Mereka menyebutnya dengan nama Imlek.

Perayaan ini dimulai di hari ke-1 bulan pertama (zh?ng yuè) di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal ke-15 (pada saat bulan purnama). Malam Tahun Baru Imlek dikenal sebagai Chúx? yang berarti “malam pergantian tahun”.

Di Tiongkok, adat dan tradisi wilayah yang berkaitan dengan perayaan Tahun Baru Cina sangat beragam. Namun secara umum berisi perjamuan makan malam pada malam Tahun Baru, serta penyulutan kembang api. Lampion merah digantung selama perayaan Tahun Baru Imlek sebagai makna keberuntungan. Selama perayaan tahun baru orang-orang memberi selamat satu sama lain dengan kalimat: “G?ngx? f?cái” yang artinya “selamat dan semoga banyak rejeki”.

Tahun Baru Imlek dirayakan oleh orang Tionghoa di Daratan Tiongkok, Korea, Mongolia, Nepal, Bhutan, Vietnam, Jepang (sebelum 1873), Hong Kong, Macau, Taiwan, Singapura, Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand dan tempat-tempat lain.

PERAYAAN TAHUN BARU BANGSA Persia

Orang Persia menamakan perayaan tahun baru mereka dengan nama Norouz. Norouz adalah perayaan (hari pertama) musim semi dan awal Kalender Persia. Orang Persia punya Kalender Persia yang didasarkan dari musim dan pergerakan matahari. Kata ”norouz” berasal dari bahasa Avesta yang berarti “hari baru”. Oleh bangsa Persia, hari ini dirayakan pada tanggal 21 Maret jika memakai Kalender Gregorian..

Sejak Kekaisaran Dinasti Arsacid/ Parthian, yang memerintah Iran pada 248 SM-224 M, Norouz dijadikan hari libur. Mereka merayakannya dengan mempersembahkan hadiah telur sebagai lambang produktivitas.

Perayaan ini dilakukan oleh orang-orang yang terpengaruh Zoroastirianisme yang tersebar di Iran, Iraq, Afganistan, Kazakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Kurdistan, Pakistan, Kashmir, beberapa tempat di India, Syria, Kurdi, Turki, Armenia, Caucasus, Crimea, Georgia, Azerbaijan, Macedonia, Bosnia, Kosovo, dan Albania.

PERAYAAN TAHUN BARU BANGSA Romawi KUNO

Sejak Abad ke-7 SM bangsa romawi kuno telah memiliki kalender tradisional. Namun kalender ini sangat kacau dan mengalami beberapa kali revisi. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya.

Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian . Urutan bulan menjadi: 1) Januarius, 2) Februarius, 3) Martius, 4) Aprilis, 5) Maius, 6) Iunius, 7) Quintilis, 8) Sextilis, 9) September, 10) October, 11) November, 12) December. Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan “Quintilis” dengan namanya, yaitu “Julius” (Juli). Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan “Sextilis” dengan nama bulan “Agustus”. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian.

Januarius (Januari) dipilih sebagai bulan pertama, karena dua alasan. Pertama, diambil dari nama dewa Romawi “Janus” yaitu dewa bermuka dua ini, satu muka menghadap ke depan dan yang satu lagi menghadap ke belakang. Dewa Janus adalah dewa penjaga gerbang Olympus. Sehingga diartikan sebagai gerbang menuju tahun yang baru. Kedua, karena 1 Januari jatuh pada puncak musim dingin. Di saat itu biasanya pemilihan consul diadakan, karena semua aktivitas umumnya libur dan semua Senat dapat berkumpul untuk memilih Konsul. Di bulan Februari konsul yang terpilih dapat diberkati dalam upacara menyambut musim semi yang artinya menyambut hal yang baru. Sejak saat itu Tahun Baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari. Tahun Baru 1 Januari pertama kali dirayakan pada tanggal 1 Januari 45 SM.

Orang Romawi merayakan Tahun Baru dengan cara saling memberikan hadiah potongan dahan pohon suci. Belakangan, mereka saling memberikan kacang atau koin lapis emas dengan gambar Dewa Janus. Mereka juga mempersembahkan hadiah kepada kaisar.

PERAYAAN TAHUN BARU UMAT Kristen

Sejak Konstantinus yang Agung menduduki tahta Kaisar Romawi tahun 312 M, Kristen menjadi agama yang legal di Kekaisaran Romawi Kuno. Bahkan tanggal 27 Februari 380 M Kaisar Theodosius mengeluarkan sebuah maklumat, De Fide Catolica, di Tesalonika, yang dipublikasikan di Konstantinopel, yang menyatakan bahwa Kristen sebagai agama negara Kekaisaran Romawi Kuno. Di Abad-abab Pertengahan (middle ages), abad ke-5 hingga abad ke-15 M, Kristen memegang peranan dominan di Kekaisaran Romawi hingga ke negara-negara Eropa lainnya.

Berdasarkan keputusan Konsili Tours tahun 567 umat Kristen ikut merayakan Tahun Baru dan mereka mengadakan puasa khusus serta ekaristi. Kebanyakan negara-negara Eropa menggunakan tanggal 25 Maret, yakni hari raya umat Kristen yang disebut Hari Kenaikan Tuhan, sebagai awal tahun yang baru.

Umat Kristen menggunakan Kalender yang dinamakan Kalender Masehi. Mereka menggunakan penghitungan tahun dan bulan Kalender Julian, namun menetapkan tahun kelahiran Yesus atau Isa sebagai tahun permulaan (tahun 1 Masehi), walaupun sejarah menempatkan kelahiran Yesus pada waktu antara tahun 6 dan 4 SM.

Setelah meninggalkan Abad-abad Pertengahan, pada tahun 1582 M Kalender Julian diganti dengan Kalender Gregorian. Dinamakan Gregorian karena Dekrit rekomendasinya dikeluarkan oleh Paus Gregorius XIII. Dekrit ini disahkan pada tanggal 24 Februari 1582 M. Isinya antara lain tentang koreksi daur tahun kabisat dan pengurangan 10 hari dari kalender Julian. Sehingga setelah tanggal 4 Oktober 1582 Kalender Julian, esoknya adalah tanggal 15 Oktober 1582 Kalender Gregorian. Tanggal 5 hingga 14 Oktober 1582 tidak pernah ada dalam sejarah Kalender Gregorian. Sejak saat itu, titik balik surya bisa kembali ditandai dengan tanggal 21 Maret tiap tahun, dan tabel bulan purnama yang baru disahkan untuk menentukan perayaan Paskah di seluruh dunia.

Pada mulanya kaum protestant tidak menyetujui reformasi Gregorian ini. Baru pada abad berikutnya kalender itu diikuti. Dalam tubuh Katolik sendiri, kalangan gereja ortodox juga bersikeras untuk tetap mengikuti Kalender Julian sehingga perayaan Natal dan Tahun Baru mereka berbeda dengan gereja Katolik Roma.

Pada tahun 1582 M Paus Gregorius XIII juga mengubah Perayaan Tahun Baru Umat Kristen dari tanggal 25 Maret menjadi 1 Januari. Hingga kini, Umat Kristen di seluruh dunia merayakan Tahun Baru mereka pada tanggal 1 Januari.

PERAYAAN TAHUN BARU UMAT Islam

Tidak seperti bangsa dan umat terdahulu, Islam tidak merayakan tahun baru. Rasulullah Muhammad saw bahkan melarang meniru (tasyabbuh) budaya bangsa dan umat sebelum datangnya Islam seperti Umat Yahudi, Bangsa Romawi, Bangsa Persia, dan Umat Nasrani yang merayakan Tahun Baru mereka. Rasulullah saw bersabda:

Man tasyabbaHa bi qaumin faHuwa minHum.

Artinya: Siapa saja yang menyerupai suatu kaum/ bangsa maka dia termasuk salah seorang dari mereka. (HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Tirmidzi)

Dan khusus tentang hari raya, Rasulullah saw membatasi hari raya umat Islam hanya pada Idul Adhha dan Idul Fithri, lain itu tidak. Rasulullah saw bersabda:

Kullu ummatin iidan. Wa haadzihi iidunaa: iidul adhhaa dan iidul fithri

Artinya: Setiap ummat punya hari raya. Dan inilah hari raya kita: Idul Adhha dan Idul Fithri.

Ketika Rasulullah saw masih hidup (570 – 632 M), Umat Islam menggunakan sistem penanggalan Arab pra-Islam. Sistem kalender ini berbasis campuran antara bulan (qomariyah) dan matahari (syamsiyah).

Setelah Khilafah Islam berhasil menaklukkan Kekaisaran Persia untuk selamanya dan membebaskan Wilayah Syam dari Kekaisaran Romawi Timur, pada tahun 17 H atau ekivalen dengan 638 M, di masa pemerintahan Amirul Mu`minin ‘Umar bin Khaththab diresmikanlah penggunaan Kalender Hijriyah. Dinamakan Kalender Hijriyah karena ‘Umar menetapkan awal patokan penanggalan Islam ini adalah tahun hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah pada tahun 622 M. Hijrahnya Rasulullah saw tersebut adalah pertolongan Allah yang membuat perubahan besar pada perkembangan Islam. Sejak hijrah ke Madinah mulailah terbentuk Negara Islam dan Umat Islam.

Kalender Hijriyah dihitung dengan pergerakan bulan. Penentuan awal bulan (new moon) ditandai dengan munculnya penampakan Bulan Sabit pertama kali (hilal) setelah bulan baru (konjungsi atau ijtima’). Setahun terdiri dari 12 bulan: Muharram, Safar, Rabiul awal, Rabiul akhir, Jumadil awal, Jumadil akhir, Rajab, Sya’ban, Ramadhan, Syawal, Dzulkaidah, dan Dzulhijjah. Satu minggu terdiri dari 7 hari: al-Ahad, al-Itsnayn, ats-Tsalaatsa’ , al-Arba’aa / ar-Raabi’, al-Kamsatun, al-Jumu’ah (Jumat), dan as-Sabat. Ketika melakukan perjalanan ke Syam, Amirul Mu’minin Umar bin Khaththab sempat membandingkan kalendar Hijriyah dengan kalendar-kalendar Persia dan Romawi. Umar berkesimpulan bahwa kalendar Hijriyah lebih baik.

Walaupun Kalender Hijriyah telah dipakai resmi di masa pemerintahan Amirul Mu`minin Umar bin Khaththab, namun para sahabat di masa itu tidak berpikir untuk merayakan 1 Muharram (awal tahun Hijriyah) sebagai Perayaan Tahun Baru Islam. Mereka berkonsentrasi penuh untuk mengokohkan penegakkan syariat Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia. Mereka tidak pernah berpikir untuk mengadakan perayaan yang tidak disyariatkan oleh Islam dan tidak dilakukan oleh Rasululah saw. Yang demikian itu terus berlanjut pada masa kekhilafahan Bani Umayyah dan sebagian besar masa Kekhilafahan Bani Abbasiyah. Bahkan hingga masa negara Buwaihiyah, negara syi’ah yang memisahkan diri dari daulah Islamiyah Abbasiyah, negara syi’ah ini pun tidak pernah berpikir untuk menambah-nambah perayaan yang tidak diteladankan Rasulullah saw.

Karena memuliakan Islam bukan dengan cara membuat perayaan tahun baru hijriyah, tetapi dengan mengikuti sunnah nabi, berpegang teguh pada ajaran-ajarannya, dan menjadikannya dasar hukum dan petunjuk untuk menjalani kehidupan.

Sayangnya, pada abad ke-4 H kaum Syiah kelompok al-‘Ubadiyyun dari sekte Ismailiyah yang lebih dikenal dengan kaum Fathimiyun membuat hari raya tahun baru hijriyah. Kelompok ini mendirikan negara di Mesir yang terpisah dari Khilafah Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Mereka ingin meniru apa yang ada pada umat Nasrani yang merayakan tahun baru mereka. Maka benarlah sabda Rasulullah saw

Akan datang suatu masa dimana kalian akan mengikuti cara hidup bangsa-bangsa sebelum kalian. Sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta. Sampai ketika mereka masuk ke lubang biawak, kalian pun ikut memasukinya. Para sahabat bertanya, “Apakah mereka kaum Yahudi dan Nasrani?” Rasulullah menjawab, “Kalau bukan mereka, siapa lagi?”

Dalam hadits lain: Para sahabat bertanya, “apakah mereka Romawi dan Pers?” Rasulullah menjawab, “Kalau bukan mereka, siapa lagi?”

Sejak saat itu Tahun baru Hijriyah dalam kalender Hijriyah dirayakan setiap tanggal 1 Muharam. Termasuk umat Islam di Indonesia yang mengklaim dirinya sebagai Sunni, juga ikut-ikutan merayakan Tahun Baru Hijriyah yang direkayasa oleh kaum Syiah Ismailiyah yang telah murtad itu. Adapun pemerintah yang berkuasa di Indonesia lebih parah lagi, ikut merayakan Tahun Baru Masehi tanggal 1 Januari karena mengadopsi kalender Gregorian. Dan ternyata tidak hanya perayaan tahun baru yang ditiru dari bangsa dan umat selain Islam, tetapi juga dalam keyakinan, perilaku, budaya, sistem hukum dan pemerintahannya pun meniru bangsa dan umat selain Islam.

PERAYAAN TAHUN BARU KAUM SEKULER

Mengikuti budaya Romawi dan Kristen, di Era Sekuler Negara-negara Barat merayakan Tahun Baru tanggal 1 Januari. Tahun 1752 Inggris dan koloni-koloninya di Amerika Serikat ikut menggunakan sistem penanggalan kalender Gregorian.

Di Inggris, Untuk merayakan Tahun Baru para suami memberi uang kepada para istri mereka untuk membeli bros sederhana (pin). Banyak orang-orang koloni di New England, Amerika, yang merayakan tahun baru dengan menembakkan senapan ke udara dan teriak, sementara yang lain mengikuti perayaan di gereja atau pesta terbuka.

Di Amerika serikat, Tahun Baru dijadikan sebagai hari libur umum nasional untuk semua warga Amerika. Perayaan dilakukan malam sebelum tahun baru, pada tanggal 31 Desember. Orang-orang pergi ke pesta atau menonton program televisi dari Times Square di jantung kota New York, dimana banyak orang berkumpul. Pada saat lonceng tengah malam berbunyi, sirene dibunyikan, kembang api diledakkan, orang-orang meneriakkan “Selamat Tahun Baru” dan menyanyikan Auld Lang Syne. Esok harinya, tanggal 1 Januari, orang-orang Amerika mengunjungi sanak-saudara dan teman-teman atau nonton televisi yang berisi Parade Bunga Tournament of Roses sebelum lomba-lomba futbol Amerika dilangsungkan di berbagai kota di Amerika.

SEBUAH RENUNGAN DI TAHUN BARU 1 MUHARRAM 1431 HIJRIYAH

Alhamdulillah… kusyukuri semua, terimakasihku ya Rabbi atas indahnya hidup ini dan atas nikmat yang tlah engkau berikan kepadaku, ini beberapa bait lagu Ungu yang saya dengar saat menulis ini. Rasa syukur sudah seharusnya selalu kita panjatkan kehadirat Allah SWT, teristimewa hari ini karena hari ini bisa memulai lembaran baru ditahun baru bagi umat Islam sedunia.

"tahun baru 1 muharram 1430 hijriah"Mengenang kembali kisah dimana dimulai dari peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah pada 622 M silam. Nabi Muhammad SAW memutuskan hijrah ke Madinah karena masyarakat Mekah sudah tidak lagi mau menerima dakwahnya.
Hijrah itu sebagai langkah perubahan Nabi Muhammad SAW untuk membuat sesuatu yang lebih baik di masyarakat Madinah. Di tempat yang baru Nabi Muhammad SAW ternyata berhasil membangun peradaban baru yang lebih mencerahkan. Peristiwa hijrah ke Madinah ini oleh sahabat Umar Bin Khattab dipakai sebagai awal penanggalan Islam.

Hari ini 1 Muharram 1430 H adalah tahun baru bagi umat Islam di bumi Allah SWT ini. Momentum tahun baru hijriah ini harus kita jadikan sebagai sarana “hijrah” menuju kehidupan yang lebih baik. Dalam Islam disebutkan: ” Haasibuu qobla antuhaasabuu. Yang artinya hitunglah dirimu sebelum kamu sekalian dihitung(hisab)”. Sebagai rasa syukur maka sebaiknyalah kita sebagai muslim yang taat memanfaatkan tahun baru ini untuk menginstropeksi diri, mengevaluasi diri, bermuhasabah atas segala perencanaan, perbuatan dan program hidup yang telah dilakukan di tahun sebelumnya, jadikan saat-saat seperti ini sebagai momen yang tepat bagi kita untuk selalu berinstropeksi diri tentang amal-ibadah apa yang sudah kita capai dan hal apa saja yang masih kurang dalam diri kita. Sehingga dengan instropeksi tersebut nantinya bisa memperbaiki dan memperbaharui kekurangan-kekurangan kita di masa depan dan kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan tidak akan diulangi lagi.

Buat saya pribadi ini menjadi momentum penting dengan membuka lembaran hidup baru. Saya berusaha untuk betul-betul membuat suatu perubahan yang nyata dan ada juga perubahan fisik yang akan membantu mengingatkan saya akan niat saya hari ini, bagi anda yang di Medan mungkin bisa langsung lihat perbedaannya :) . Untuk memulai lembaran baru ini caranya menurut saya tidak rumit, cukup gunakan jurus 3M yang sudah terkenal yaitu Mulai dari diri sendiri, Mulai dari hal yang paling kecil dan Mulailah saat ini juga.